Relevankah Pemberian Gelar Raja Batak Bagi SBY?
Oleh : Drs. Osberth Sinaga, M.Si
Bekelompok massa yang masih cinta dengan nilai-nilai habatahon (keBatakan) melakukan aksi protes dan long march di tugu Raja Sisingamangarja XII Medan dengan tujuan yang sama, "tolak gelar Raja Batak bagi SBY.
Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana muncul kemudian, mengapa mereka menolak memberikan gelar itu pada pemimpinnya? Apa yang salah dengan pemberian gelar tersebut? Tentu mereka punya alasan yang logis yang bisa dipertanggungjawabkan secara sosial dan moral kepada nilai budaya keBatakan.
Apa yang dilakukan oleh sekelompok massa tersebut dalam pandangan saya sebagai akademisi adalah sesuatu aksi yang natural dan tidak punya maksud apa-apa. Tujuannya hanya satu, menjaga nilai–nilai kearifan lokal sebagai pedoman hidup bagi masyarakat. Adanya wacana pemberian gelar Raja Batak pasca peresmian museum Batak sedunia kepada SBY di Balige memang patut kita sayangkan. Setidaknya argumentasi yang dibangun pun bisa diterima oleh publik, bahwa penganugerahan gelar tersebut sarat dengan kepentingan politis.
Memberikan gelar tentu tidak sembarangan. Sebagai contoh yang sangat sederhana, untuk mendapat gelar kesarjanaan prosesnya saja sangat ketat dan rumit. Ada proses perkuliahan, ujian semester, mengerjakan skripsi, sampai pada tahap meja hijau dan wisuda. Semua proses itu harus dilalui baru berhal mendapatkan gelar kesarjanaan. Dapat kita lihat prosedural yang ditempuh sangat ketat dan itu adalah upaya menempa mental mereka agar kelak bisa menajdi manusia pekerja keras dan bermental dengan baik dalam aktivitas kehidupan mereka.
Kemudian kita dapat melihat, untuk meraih gelar Nobel prosesnya lebih hebat dan lebih keras lagi. Prestasi yang membawa manfaat bagi kehidupan adalah prasyarat mutal yang bisa ditawar-tawar. Peraih nobel adalah orang-orang pekerja keras yang terus bergelut dalam satu bidang dan bidang itu membawa kebaikan bagi masyarakat atau dunia. Muhammad Yunus misalnya dari Bangladesh meraih nobel ekonomi karena berhasil membantu perekonomian masyarakat miskin di Banglades melalui Graamen Banknya. Yunus dengan segala upaya jerih payahnya mampu membantu ribuan masyarakat miskin Bangladesh. Inilah cikal bakal Yunus memperoleh gelar nobel ekonomi.
Di Myanmar kita pernah mengenal sosok Aung Sang Suu Ky yang tanpa lelah berjuang untuk proses perdamaian dan demokratisasi di Myanamr. Penjara dan ancaman militer bukan sesuatu yang menakutkan bagi Suu Ky. Kemudian Aung Sung Suu Ky berhasil memperoleh gelar nobel perdamaian. Kemudian Amartya Sen berhasil meraih nobel ekonomi dengan konsep pembangunannya. Sen mengemukakan perlunya memperhatikan hak asasi manusia dalam pembangunan ekonomi. Konsep kebebasan dalam ekonomi sangat perlu agar masyarakat bisa sejahtera. Teori Amartya Sen ini sangat ampuh dalam membangun masyarakat dan digunakan oleh pemerintahan India.
Dari nama-nama peraih gelar nobel di atas dapat kita lihat tindakan mereka sangat berguna bagi kemanusiaan dan tidak ada motif-motif yang lain. Semunya itu atas dasar kasih dalam menolong sesama. Hati nurani lebih ditonjolkan daripada keuntungan finanasial semata. Gelar tentu bukan tujuan mereka, tujuan mereka adalah bagaimana supaya sesama dapat hidup lebih layak dengan kesejahteraan yang lumayan. Walaupun pada saat yang bersamaan tindakan mereka menjadi titik tolak mendapatkan hadian nobel sebagai penghargaan dari Alfred Nobel.
Mental Feodalisme
Kembali dalam konteks pemberian gelar Raja Batak kepada SBY, apa urgensinya dengan pembangunan budaya Batak? Apakah pemberian ini sebagai bentuk dari bangkitnya kembali mental feodalisme pada era Orde Baru dimana setiap berjumpa dengan pemimpin selalu melakukan pendekatan asal bapak senang (ABS). Setidkanya definisi raja harus kembali kita pahami dalam kultur Batak. Dalam masyarakat Batak Toba misalnya semua marga atau paling kecil semua person adalah anak ni raja dan boru ni raja. Artinya secara teritorial, raja di tanah Batak yang diartikan dalam semua marga tidak punya wilayah dan kekuasaan.
Panggilan raja dalam masyarakat Batak lebih kental nuansa kulturnya dengan tujuan saling menghormati sesama. Seseorang dipanggil Raja tidak lebih hanya untuk memberikan penghormatan yang tinggi dan pada hakikatnya semua orang Batak adalah anak Raja. Jadi Raja dalam kultur orang Batak jangan diterjemahkan sebagai seorang pimpinan, itu lebih dekat dengan penghormatan.
Berarti dalam tradisi budaya Batak Toba misalnya toleransi sangat tinggi. Kehidupan mereka lebih banyak di atur dengan adat dalihan natolu. Dalihan natolu ini dalam budaya Batak Toba ada unsur. Hula-hula, dongan tubu, dan boru. Semuanya itu akan mengalami rotasi. Artinya semua orang Batak Toba suatu saat akan bisa menajdi hula-hula, dongan tubu, dan boru. Ini adalah bentuk kesetaraan dimana semua saling menghormati.
Tatanan dalihan natolu ini harus kembali dipertahankan oleh orang Batak. Kita bukan tidak setuju dengan simbolis pemberian Raja Batak kepada SBY. Ini akan sangat melukai hati masyarakat Batak Toba. Parahnya lagi pemberian itu karena kepentingan politis dari pihak tertentu. Janganlah kita mengorbankan nilai kebudayaan yang punya falsafah yang sangat tinggi hanya karena kekuasaan. Ditengah –tengah kritik kepada SBY karena permasalahan bangsa yang sangat besar dan menuntut ketegasan SBY, saatnya kita berpikir jernih dan mengkaji ulang pemberian gelar itu.
Menghormati pemimpin adalah wajib hukumnya, tetapi menyanjung pemimpin setinggi langit tentu menjadi masalah besar. Bahkan dengan mengorbankan nilai-nilai Ke- Batakan yang punya nilai kemanusiaan yang tinggi. Siapapun dalam kultur budaya Batak pasti disebut dengan Raja, itu panggilan raja tujuannya untuk menghormati dan bukan memuji-muji.
Menolak pemberian gelar Raja Batak kepada SBY adalah tindakan yang bijak. Relevansinya dengan pembangunan budaya Batak Toba juga tidak ada. Dalam hal ini pemimpin bisa belajar kepada peraih gelar hadiah nobel. Mereka tidak pernah bercita-cita meraih gelar hadiah nobel tetapi nobel itu datang sendiri karena prestasi mereka mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. Kalau SBY mampu membawa negeri ini kearah yang lebih baik, sejahtera secara ekonomi, hukum tegak, kemiskinan nihil, adanya jaminan hidup maka semua suku akan berlomba untuk memberikan gelar budaya pada SBY. Ini tidak, bangsa kita terus dirundung masalah yang jauh dari nilai keadilan dan nilai kemanusiaan.
Penulis adalah: Dosen FIS UNIMED Medan/ Ketua PKMI I Medan/Ketua Umum Sinaga Sedunia dan Ketua Umum ISDA Se-Indonesia.
Link:
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=83571%3Arelevankah-pemberian-gelar-raja-batak-bagi-sby&catid=78%3Aumum&Itemid=131
Oleh : Drs. Osberth Sinaga, M.Si
Bekelompok massa yang masih cinta dengan nilai-nilai habatahon (keBatakan) melakukan aksi protes dan long march di tugu Raja Sisingamangarja XII Medan dengan tujuan yang sama, "tolak gelar Raja Batak bagi SBY.
Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana muncul kemudian, mengapa mereka menolak memberikan gelar itu pada pemimpinnya? Apa yang salah dengan pemberian gelar tersebut? Tentu mereka punya alasan yang logis yang bisa dipertanggungjawabkan secara sosial dan moral kepada nilai budaya keBatakan.
Apa yang dilakukan oleh sekelompok massa tersebut dalam pandangan saya sebagai akademisi adalah sesuatu aksi yang natural dan tidak punya maksud apa-apa. Tujuannya hanya satu, menjaga nilai–nilai kearifan lokal sebagai pedoman hidup bagi masyarakat. Adanya wacana pemberian gelar Raja Batak pasca peresmian museum Batak sedunia kepada SBY di Balige memang patut kita sayangkan. Setidaknya argumentasi yang dibangun pun bisa diterima oleh publik, bahwa penganugerahan gelar tersebut sarat dengan kepentingan politis.
Memberikan gelar tentu tidak sembarangan. Sebagai contoh yang sangat sederhana, untuk mendapat gelar kesarjanaan prosesnya saja sangat ketat dan rumit. Ada proses perkuliahan, ujian semester, mengerjakan skripsi, sampai pada tahap meja hijau dan wisuda. Semua proses itu harus dilalui baru berhal mendapatkan gelar kesarjanaan. Dapat kita lihat prosedural yang ditempuh sangat ketat dan itu adalah upaya menempa mental mereka agar kelak bisa menajdi manusia pekerja keras dan bermental dengan baik dalam aktivitas kehidupan mereka.
Kemudian kita dapat melihat, untuk meraih gelar Nobel prosesnya lebih hebat dan lebih keras lagi. Prestasi yang membawa manfaat bagi kehidupan adalah prasyarat mutal yang bisa ditawar-tawar. Peraih nobel adalah orang-orang pekerja keras yang terus bergelut dalam satu bidang dan bidang itu membawa kebaikan bagi masyarakat atau dunia. Muhammad Yunus misalnya dari Bangladesh meraih nobel ekonomi karena berhasil membantu perekonomian masyarakat miskin di Banglades melalui Graamen Banknya. Yunus dengan segala upaya jerih payahnya mampu membantu ribuan masyarakat miskin Bangladesh. Inilah cikal bakal Yunus memperoleh gelar nobel ekonomi.
Di Myanmar kita pernah mengenal sosok Aung Sang Suu Ky yang tanpa lelah berjuang untuk proses perdamaian dan demokratisasi di Myanamr. Penjara dan ancaman militer bukan sesuatu yang menakutkan bagi Suu Ky. Kemudian Aung Sung Suu Ky berhasil memperoleh gelar nobel perdamaian. Kemudian Amartya Sen berhasil meraih nobel ekonomi dengan konsep pembangunannya. Sen mengemukakan perlunya memperhatikan hak asasi manusia dalam pembangunan ekonomi. Konsep kebebasan dalam ekonomi sangat perlu agar masyarakat bisa sejahtera. Teori Amartya Sen ini sangat ampuh dalam membangun masyarakat dan digunakan oleh pemerintahan India.
Dari nama-nama peraih gelar nobel di atas dapat kita lihat tindakan mereka sangat berguna bagi kemanusiaan dan tidak ada motif-motif yang lain. Semunya itu atas dasar kasih dalam menolong sesama. Hati nurani lebih ditonjolkan daripada keuntungan finanasial semata. Gelar tentu bukan tujuan mereka, tujuan mereka adalah bagaimana supaya sesama dapat hidup lebih layak dengan kesejahteraan yang lumayan. Walaupun pada saat yang bersamaan tindakan mereka menjadi titik tolak mendapatkan hadian nobel sebagai penghargaan dari Alfred Nobel.
Mental Feodalisme
Kembali dalam konteks pemberian gelar Raja Batak kepada SBY, apa urgensinya dengan pembangunan budaya Batak? Apakah pemberian ini sebagai bentuk dari bangkitnya kembali mental feodalisme pada era Orde Baru dimana setiap berjumpa dengan pemimpin selalu melakukan pendekatan asal bapak senang (ABS). Setidkanya definisi raja harus kembali kita pahami dalam kultur Batak. Dalam masyarakat Batak Toba misalnya semua marga atau paling kecil semua person adalah anak ni raja dan boru ni raja. Artinya secara teritorial, raja di tanah Batak yang diartikan dalam semua marga tidak punya wilayah dan kekuasaan.
Panggilan raja dalam masyarakat Batak lebih kental nuansa kulturnya dengan tujuan saling menghormati sesama. Seseorang dipanggil Raja tidak lebih hanya untuk memberikan penghormatan yang tinggi dan pada hakikatnya semua orang Batak adalah anak Raja. Jadi Raja dalam kultur orang Batak jangan diterjemahkan sebagai seorang pimpinan, itu lebih dekat dengan penghormatan.
Berarti dalam tradisi budaya Batak Toba misalnya toleransi sangat tinggi. Kehidupan mereka lebih banyak di atur dengan adat dalihan natolu. Dalihan natolu ini dalam budaya Batak Toba ada unsur. Hula-hula, dongan tubu, dan boru. Semuanya itu akan mengalami rotasi. Artinya semua orang Batak Toba suatu saat akan bisa menajdi hula-hula, dongan tubu, dan boru. Ini adalah bentuk kesetaraan dimana semua saling menghormati.
Tatanan dalihan natolu ini harus kembali dipertahankan oleh orang Batak. Kita bukan tidak setuju dengan simbolis pemberian Raja Batak kepada SBY. Ini akan sangat melukai hati masyarakat Batak Toba. Parahnya lagi pemberian itu karena kepentingan politis dari pihak tertentu. Janganlah kita mengorbankan nilai kebudayaan yang punya falsafah yang sangat tinggi hanya karena kekuasaan. Ditengah –tengah kritik kepada SBY karena permasalahan bangsa yang sangat besar dan menuntut ketegasan SBY, saatnya kita berpikir jernih dan mengkaji ulang pemberian gelar itu.
Menghormati pemimpin adalah wajib hukumnya, tetapi menyanjung pemimpin setinggi langit tentu menjadi masalah besar. Bahkan dengan mengorbankan nilai-nilai Ke- Batakan yang punya nilai kemanusiaan yang tinggi. Siapapun dalam kultur budaya Batak pasti disebut dengan Raja, itu panggilan raja tujuannya untuk menghormati dan bukan memuji-muji.
Menolak pemberian gelar Raja Batak kepada SBY adalah tindakan yang bijak. Relevansinya dengan pembangunan budaya Batak Toba juga tidak ada. Dalam hal ini pemimpin bisa belajar kepada peraih gelar hadiah nobel. Mereka tidak pernah bercita-cita meraih gelar hadiah nobel tetapi nobel itu datang sendiri karena prestasi mereka mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. Kalau SBY mampu membawa negeri ini kearah yang lebih baik, sejahtera secara ekonomi, hukum tegak, kemiskinan nihil, adanya jaminan hidup maka semua suku akan berlomba untuk memberikan gelar budaya pada SBY. Ini tidak, bangsa kita terus dirundung masalah yang jauh dari nilai keadilan dan nilai kemanusiaan.
Penulis adalah: Dosen FIS UNIMED Medan/ Ketua PKMI I Medan/Ketua Umum Sinaga Sedunia dan Ketua Umum ISDA Se-Indonesia.
Link:
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=83571%3Arelevankah-pemberian-gelar-raja-batak-bagi-sby&catid=78%3Aumum&Itemid=131