Ra, aku datang lagi hari ini ke taman yang indah ini. Ya, taman ini
indah, semenjak kehadiranmu di sini, bukan karena bunga-bunga dan pohon
yang ditanam oleh penjaganya. Namun karena engkau adalah hal terindah
dalam hidupku yang akhirnya direnggut oleh waktu dan disemayamkan di
sini, tubuh mu jauh dariku, namun cintamu, cinta kita, kini semakin
bertumbuh. Aku merindukanmu, dan dari atas sana , atau bahkan mungkin
dari sampingku, aku tahu, engkau hadir, meski tak terlihat oleh mataku,
namun hatiku merasakan hadirmu. Dalam setiap hembusan semilir angin
yang menyejukkan, aku mampu mencium wangi rambutmu yang dulu selalu
kubelai, dalam cerahnya mentari pagi, aku merasakan senyum indahmu yang
mampu menggelorakan hatiku, dan ketika matahari tenggelam, aku masih
saja merasakan hangatnya genggamanmu, sama seperti dulu. Aku sungguh
merindukanmu, sungguh sungguh merindu, hingga terkadang sakit rasanya
melihat senyummu di foto pernikahan kita yang tergantung di dinding
kamar yang kini kutempati sendiri. Aku menangis dalam kesendirian,
bukan karena harus sendiri menghadapi hidup, tapi karena aku merasa
belum cukup mengatakan kepadamu betapa aku mencintaimu selama hidup.
Aku menangis untuk setiap waktu yang tidak kuhabiskan bersamamu, untuk
setiap kesempatan yang ada untuk mengatakan betapa aku mencintaimu,
meski aku terkadang tidak mampu mengungkapkannya kepadamu. Aku begitu
merindukanmu.
Begitu pula dengan putri kita, yang telah
kau hadiahkan kepadaku melalui pengorbanan nyawamu. Aku merasa hampa,
merasa tak berguna, karena dari sekian banyak jiwa yang kuselamatkan,
aku justru tidak mampu menyelamatkan hidupku, menyelamatkanmu. Aku
yang biasa berjuang melawan maut, menantang kematian dan
malaikat-malaikatnya untuk mencegah mereka menyentuh manusia yang
berjuang untuk mempertahankan mereka dengan bantuanku sebagai seorang
dokter, yang mereka bilang bertangan dingin, malah lunglai tak berdaya,
hanya mampu meresapi hatiku yang teriris iris tatkala mereka
merenggutmu dariku.
Putri kita hari ini genap berusia setahun,
sama seperti kepergianmu ketika engkau membawanya ke dunia ini. Aku tak
sempat mengatakan kepadamu betapa kecantikannya sama seperti dirimu,
betapa tawanya mampu membuatku terbius dalam rasa syukur, sama seperti
ketika aku mendengar tawamu dulu. Kerling matanya pun mampu membuatku
tersenyum, menyadari betapa Tuhan telah mengaruniakan aku putri
tercantik yang pernah ku kenal, putri kita. Ayrie, aku menamainya, sama
seperti yang engkau inginkan, yang kita inginkan. Aku berharap dalam
asa, ketika aku ingin engkau juga menggendongnya sama sepertiku,
merasakan lembut kulit pipinya, mendengarkan sayup nafasnya ketika ia
terlelap, dan bukan hanya itu, aku juga ingin bergantian denganmu kala
harus menjaganya di malam hari, ketika ia menangis, karena alasan yang
sama yang membuat ayahnya menangis, merindukan hadirmu. Seharusnya ia
mencicipi susu darimu, bukan susu formula yang selama ini terpaksa
kubeli, yang tidak memiliki kehangatan seorang ibu. Namun ia tampaknya
mengerti dengan keterbatasan ayahnnya, bahwa ayahnya yang selama ini
dipuja sebagai dokter bertangan dingin tidak mampu memberikannya kasih
sayang seorang ibu. Ia terlelap dan tidak rewel, meskipun aku hanya
memberikannya susu formula, susu formula yang sekali lagi, tidak
memiliki kehangatan seorang ibu. Aku seharusnya belajar darimu bagaiman
mengganti popoknya, bagaimana memandikan putri kita. Namun kini aku
bahkan sudah begitu mengerti apa yang diinginkan putri kita. Seberapa
hangat air yang diinginkannya, seberapa banyak air yang harus kupenuhi
di bak mandinya, seberapa lama ia ingin bermain air, sebelum akhirnya
aku harus mengeringkan badannya , memakaikannya bedak, dan
memakaikannya baju biru muda, warna kesukaanmu, yang entah bagaimana
juga menjadi warna kesukaannya. Sering aku terjaga tengah malam, dengan
wajah sayu dan mata kurang tidur setelah lelah seharian bekerja, untuk
mengganti popoknya yang basah, ataupun untuk membuatkannya sebotol
susu, atau sekedar untuk menggendongnya dan menyanyikan sebuah lagu
untuknya. Aku lelah, sangat lelah , tentu saja tak bisa kupungkiri,
namun rasa cintaku kepadanya, dan rasa cintaku kepadamu, rasa cinta
kita, memampukanku untuk kembali melaksanakan tugasku sebagai ayah. Ya,
aku memang ditemani seorang pengasuhnya, dan terkadang neneknya datang
menjenguknya, namun aku ingin ia mengerti betapa ayahnya begitu
mencintainya, betapa aku ingin selalu berada di dekatnya, seperti yang
aku tahu, bahwa engkau juga pasti begitu.
Aku menangis
lagi, air mataku menetes membasahi bunga melati yang kutanam untukmu
disini. Namun tak apa, putri kita sedang terlelap, memejamkan matanya
dalam pangkuanku. Aku merindukanmu, sungguh merindkuanmu. Dalam setiap
malam yang dingin, aku tidur sendiri di ranjang tanpa kehadiranmu,
tanpa hangatnya rasa cinta kita. Bukan, bukan kepuasan semata yang
kurindukan, namun aku ingin menggenggam tanganmu, mengatakan seluruh
kegalauanku sehari ini, yang akan engkau balas dengan senyummu dan
kecupan di keningku, dan seketika itu juga bebanku akan hilang, larut
ditelan angin.
Tahukah engkau betapa ingin aku bertukar
tempat denganmu, betapa aku ingin menghadapnya terlebih dahulu, karena
hatiku hancur tatkala aku tak mampu lagi melihat hadirmu. Hatiku hancur
tatkala melihat pasienku mampu menyusui bayinya, hal yang tidak
diperoleh putriku, putri kita. Sering aku berdoa sendiri di kapel,
,memohon Tuhan untuk selalu menjagamu, memberikanmu surga, sama seperti
engkau juga dulu memberikan surga kepadaku dan kepada orang-orang di
sekelilingmu. Aku pernah marah dengan Tuhan, kecewa karena ia
merenggutmu dariku. Namun akhirnya aku menyadari, Ia mencintaimu lebih
dari aku mencintaimu, dan atas setiap keputusannya yang tak mampu
kupahami, aku hanya akan percaya dan menyimpannya dalam hati, bahwa
segala yang dilakukan-Nya, tentulah berdasarkan c inta kepadamu,
kepadaku, kepada putri kita.
Namun, aku tahu, bahwa aku
diserahi tanggung jawab untuk membesarkan putri kita, menjadi seorang
wanita yang baik, sebaik ibunya.
Kini ia telah genap berusia
setahun, seperti yang kukatakan tadi. Ia telah tumbuh dengan sehatnya
dengan segala kelucuannya, tangisnya, tawanya, aku begitu ingin
membagi kebahagiaan ini denganmu. Namun aku tetap percaya bahwa engkau
ada di samping kami selalu, menjaga cinta kita. Aku membawa kue coklat
kesukaanmu dulu, dan kunyalakan sebatang lilin, aku ingin merayakan
ulang tahunnya bersamamu. Aku bergembira ketika mengingat hari ini,
hari di mana setahun yang lalu Tuhan menganugerahiku seorang putri,
namun juga menyayat hatiku, ketika kuingat bahwa di hari yang sama Ia
memberiku seorang lagi belahan jiwa, Ia malah merenggut belahan jiwaku
yang satunya.
Aku menyalakan lilin, dan membiarkannya
padam ditiup angin, yang entah bagaimana aku harap merupakan pertanda
hadirmu. Putri kita belum bisa makan kue coklat, tentu saja, dan aku
tidak akan memberikan kue ini kepadanya. Aku akan memberikan kue ini
kepada penjaga makammu, berharap ia akan menjaganya tetap terawat sama
seperti aku merawat cinta kita.
Aku sudah mengambil cuti
seharian ini, karena aku ingin menghabiskan waktu bertiga bersamamu,
dan bersama putri kita, namun sepertinya cuaca tidak mengizinkan,
gerimis mulai berjatuhan satu per satu, dan seperti yang kuingat, kita
berdua dari dulu selalu menyukai gerimis, selalu menikmati gerimis
tatkala kita berdua melewatkan sore hari di rumah yang kita bangun
berdasarkan cinta. Aku tak apa jika hujan membasuh tubuhku dengan
dinginnya, namun aku khawatir putri kita akan jatuh sakit, oleh karena
itu aku mencium nisanmu, yang terasa dingin, berbeda sekali dengan
pipimu yang kemerahan dan selalu terasa hangat, dengan aromamu yang
begitu akrab di hidungku. Aku juga membiarkan putri kita yang kini
sudah terbangun, namun tidak menangis seperti biasanya, untuk menyentuh
nisan putih mu yang dingin, namun dengan cara yang tak kumengerti ia
tampaknya mengenalnya, mengenal sapa yang terbaring di sini, ibunya,
yang telah meregang nyawa untuknya. Kemudian aku melangkahkan kaki,
berusaha menghindari hujan menuju ke mobil.
Aku
mencintaimu, sampai sekarang, dan masih belum berkurang sama seperti
ketika pertama kali aku mengatakan aku mencintaimu. Namun kini begitu
jauh rasanya takdir mesmisahkan kita, aku mencintaimu, sungguh-sungguh
mencintaimu, dan aku ingin sekali menggumamkan itu setiap kali aku
mengingat hadirmu, karena mungkin tak cukup sering terucap betapa aku
mencintaimu.
Aku telah menyalakan mesin mobil, kami harus
pulang, sebab kakek-neneknya Ayrie sudah menunggu di rumah, rumah yang
seperti kukatakan, kita bangun dengan cinta, dan samapai selamanya akan
begitu. Hujan menyentuh bumi dengan titik-titiknya, membasahi tiap
tempat yang disentuhnya, termasuk makammu. Aku hanya mampu merasakan
rindu yang menyiksa, sama seperti sapuan hujan yang seolah tak ada
hentinya, seperti ribuan titik-titik rindu yang yang menghujam hatiku.
Aku mencintaimu, aku merindukanmu, dan akan selalu begitu…..
Oleh : Richardo Marpaung