Sponsor

Jumat, 02 September 2011

Cerpen


Ra, aku datang lagi hari ini ke taman yang indah ini. Ya, taman ini indah, semenjak kehadiranmu di sini, bukan karena bunga-bunga dan pohon yang ditanam oleh penjaganya. Namun karena engkau adalah hal terindah dalam hidupku yang akhirnya direnggut oleh waktu dan disemayamkan di sini, tubuh mu jauh dariku, namun cintamu, cinta kita, kini semakin bertumbuh. Aku merindukanmu, dan dari atas sana , atau bahkan mungkin dari sampingku, aku tahu, engkau hadir, meski tak terlihat oleh mataku, namun hatiku merasakan hadirmu. Dalam setiap hembusan semilir angin yang menyejukkan, aku mampu mencium wangi rambutmu yang dulu selalu kubelai, dalam cerahnya mentari pagi, aku merasakan senyum indahmu yang mampu menggelorakan hatiku, dan ketika matahari tenggelam, aku masih saja merasakan hangatnya genggamanmu, sama seperti dulu.  Aku sungguh merindukanmu, sungguh sungguh merindu, hingga terkadang sakit rasanya melihat senyummu di foto pernikahan kita yang tergantung di dinding kamar yang kini kutempati sendiri. Aku menangis dalam kesendirian, bukan karena harus sendiri menghadapi hidup, tapi karena aku merasa belum cukup mengatakan kepadamu betapa aku mencintaimu selama hidup. Aku menangis untuk setiap waktu yang tidak kuhabiskan bersamamu, untuk setiap kesempatan yang ada untuk mengatakan betapa aku mencintaimu, meski aku terkadang tidak mampu mengungkapkannya kepadamu. Aku begitu merindukanmu.

Begitu pula dengan putri kita, yang telah kau hadiahkan kepadaku melalui pengorbanan nyawamu. Aku merasa hampa, merasa tak berguna, karena dari sekian banyak jiwa yang kuselamatkan, aku justru tidak mampu menyelamatkan  hidupku, menyelamatkanmu. Aku yang biasa berjuang melawan maut, menantang kematian dan malaikat-malaikatnya untuk mencegah mereka menyentuh manusia yang berjuang untuk mempertahankan mereka dengan bantuanku sebagai seorang dokter, yang mereka bilang bertangan dingin, malah lunglai tak berdaya, hanya mampu meresapi hatiku yang teriris iris tatkala mereka merenggutmu dariku.
Putri kita hari ini genap berusia setahun, sama seperti kepergianmu ketika engkau membawanya ke dunia ini. Aku tak sempat mengatakan kepadamu betapa kecantikannya sama seperti dirimu, betapa tawanya mampu membuatku terbius dalam rasa syukur, sama seperti ketika aku mendengar tawamu dulu. Kerling matanya pun mampu membuatku tersenyum, menyadari betapa Tuhan telah mengaruniakan aku putri tercantik yang pernah ku kenal, putri kita. Ayrie, aku menamainya, sama seperti yang engkau inginkan, yang kita inginkan. Aku berharap dalam asa, ketika aku ingin engkau juga menggendongnya sama sepertiku, merasakan lembut kulit pipinya, mendengarkan sayup nafasnya ketika ia terlelap, dan bukan hanya itu, aku juga ingin bergantian denganmu kala harus menjaganya di malam hari, ketika ia menangis, karena alasan yang sama yang membuat ayahnya menangis, merindukan hadirmu. Seharusnya ia mencicipi susu darimu, bukan susu formula yang selama ini terpaksa kubeli, yang tidak memiliki kehangatan seorang ibu. Namun ia tampaknya mengerti dengan keterbatasan ayahnnya, bahwa ayahnya yang selama ini dipuja sebagai dokter bertangan dingin tidak mampu memberikannya kasih sayang seorang ibu. Ia terlelap dan tidak rewel, meskipun aku hanya memberikannya susu formula, susu formula yang sekali lagi, tidak memiliki kehangatan seorang ibu. Aku seharusnya belajar darimu bagaiman mengganti popoknya, bagaimana memandikan putri kita. Namun kini aku bahkan sudah begitu mengerti apa yang diinginkan putri kita. Seberapa hangat air yang diinginkannya, seberapa banyak air yang harus kupenuhi di bak mandinya, seberapa lama ia ingin bermain air, sebelum akhirnya aku harus mengeringkan badannya , memakaikannya bedak, dan memakaikannya baju biru muda, warna kesukaanmu, yang entah bagaimana juga menjadi warna kesukaannya. Sering aku terjaga tengah malam, dengan wajah sayu dan mata kurang tidur setelah lelah seharian bekerja, untuk mengganti popoknya yang basah, ataupun untuk membuatkannya sebotol susu, atau sekedar  untuk menggendongnya dan menyanyikan sebuah lagu untuknya. Aku lelah, sangat lelah , tentu saja tak bisa kupungkiri, namun rasa cintaku kepadanya, dan rasa cintaku kepadamu, rasa cinta kita, memampukanku untuk kembali melaksanakan tugasku sebagai ayah. Ya, aku memang ditemani seorang pengasuhnya, dan terkadang neneknya datang menjenguknya, namun aku ingin ia mengerti betapa ayahnya begitu mencintainya, betapa aku ingin selalu berada di dekatnya, seperti yang aku tahu, bahwa engkau juga pasti begitu.

Aku menangis lagi, air mataku menetes membasahi bunga melati yang kutanam untukmu disini. Namun tak apa,  putri kita sedang terlelap, memejamkan matanya dalam pangkuanku. Aku merindukanmu, sungguh merindkuanmu. Dalam setiap malam yang dingin, aku tidur sendiri di ranjang tanpa kehadiranmu, tanpa hangatnya rasa cinta kita. Bukan, bukan kepuasan semata yang kurindukan, namun aku ingin menggenggam tanganmu, mengatakan seluruh kegalauanku sehari ini, yang akan engkau balas dengan senyummu dan kecupan di keningku, dan seketika itu juga bebanku akan hilang, larut ditelan angin.

Tahukah engkau betapa ingin aku bertukar tempat denganmu, betapa aku ingin menghadapnya terlebih dahulu, karena hatiku hancur tatkala aku tak mampu lagi melihat hadirmu. Hatiku hancur tatkala melihat pasienku mampu menyusui bayinya, hal yang tidak diperoleh putriku, putri kita. Sering aku berdoa sendiri di kapel, ,memohon Tuhan untuk selalu menjagamu, memberikanmu surga, sama seperti engkau juga dulu memberikan surga kepadaku dan kepada orang-orang di sekelilingmu. Aku pernah marah dengan Tuhan, kecewa karena ia merenggutmu dariku. Namun akhirnya aku menyadari, Ia mencintaimu lebih dari aku mencintaimu, dan atas setiap keputusannya yang tak mampu kupahami, aku hanya akan percaya dan menyimpannya dalam hati, bahwa segala yang dilakukan-Nya, tentulah berdasarkan c inta kepadamu, kepadaku, kepada putri kita.

Namun, aku tahu, bahwa aku diserahi tanggung jawab untuk membesarkan putri kita, menjadi seorang wanita yang baik, sebaik ibunya.
Kini ia telah genap berusia setahun, seperti yang kukatakan tadi. Ia telah tumbuh dengan sehatnya dengan  segala kelucuannya, tangisnya, tawanya, aku begitu ingin membagi kebahagiaan ini denganmu. Namun aku tetap percaya bahwa engkau ada di samping kami selalu, menjaga cinta kita. Aku membawa kue coklat kesukaanmu dulu, dan kunyalakan sebatang lilin, aku ingin merayakan ulang tahunnya bersamamu. Aku bergembira ketika mengingat hari ini, hari di mana setahun yang lalu Tuhan menganugerahiku seorang putri, namun juga menyayat hatiku, ketika kuingat bahwa di hari yang sama Ia memberiku seorang lagi belahan jiwa, Ia malah merenggut belahan jiwaku yang satunya.

Aku menyalakan lilin, dan membiarkannya padam ditiup angin, yang entah bagaimana aku harap merupakan pertanda hadirmu. Putri kita belum bisa makan kue coklat, tentu saja, dan aku tidak akan memberikan kue ini kepadanya. Aku akan memberikan kue ini kepada penjaga makammu, berharap ia akan menjaganya tetap terawat sama seperti aku merawat cinta kita.

Aku sudah mengambil cuti seharian ini, karena aku ingin menghabiskan waktu bertiga bersamamu, dan bersama putri kita, namun sepertinya cuaca tidak mengizinkan, gerimis mulai berjatuhan satu per satu, dan seperti yang kuingat, kita berdua dari dulu selalu menyukai gerimis, selalu menikmati gerimis tatkala kita berdua melewatkan sore hari di rumah yang kita bangun berdasarkan cinta. Aku tak apa jika hujan membasuh tubuhku dengan dinginnya, namun aku khawatir putri kita akan jatuh sakit, oleh karena itu aku mencium nisanmu, yang terasa dingin, berbeda sekali dengan pipimu yang kemerahan dan selalu terasa hangat, dengan aromamu yang begitu akrab di hidungku. Aku juga membiarkan putri kita yang kini sudah terbangun, namun tidak menangis seperti biasanya, untuk menyentuh nisan putih mu yang dingin, namun dengan cara yang tak kumengerti ia tampaknya mengenalnya, mengenal sapa yang terbaring di sini, ibunya, yang telah meregang nyawa untuknya. Kemudian aku melangkahkan kaki, berusaha menghindari hujan menuju ke mobil.

Aku mencintaimu, sampai sekarang, dan masih belum berkurang sama seperti ketika pertama kali aku mengatakan aku mencintaimu. Namun kini begitu jauh rasanya takdir mesmisahkan kita, aku mencintaimu, sungguh-sungguh mencintaimu, dan aku ingin sekali menggumamkan itu setiap kali aku mengingat hadirmu, karena mungkin tak cukup sering terucap betapa aku mencintaimu.

Aku telah menyalakan mesin mobil, kami harus pulang, sebab kakek-neneknya Ayrie sudah menunggu di rumah, rumah yang seperti kukatakan, kita bangun dengan cinta, dan samapai selamanya akan begitu. Hujan menyentuh bumi dengan titik-titiknya, membasahi tiap tempat yang disentuhnya, termasuk makammu. Aku hanya mampu merasakan rindu yang menyiksa, sama seperti sapuan hujan yang seolah tak ada hentinya, seperti ribuan titik-titik rindu yang yang menghujam hatiku.
Aku mencintaimu, aku merindukanmu, dan akan selalu begitu…..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda jika berkenan. komentar Anda sebaiknya berhubungan dengan artikel yang dibahas, apapun komentar anda pahit, asam, asin, pedas apalagi kalau yang manis akan saya terima dengan lapang dada.

KALAU MENINGGALKAN KOMENTAR, HENDAKNYA MENINGGALKAN JEJAK ANDA

Jejaknya bisa URL web atau blog, ataukah alamat e-mailnya, sehingga jika ada pertanyaan bisa dibalas ke tempat yang jelas.

Sponsor

Pengikut