Sponsor

Jumat, 24 Februari 2012

Relevankah Pemberian Gelar Raja Batak Bagi SBY?

Relevankah Pemberian Gelar Raja Batak Bagi SBY?
Oleh : Drs. Osberth Sinaga, M.Si


Bekelompok massa yang masih cinta dengan nilai-nilai habatahon (keBatakan) melakukan aksi protes dan long march di tugu Raja Sisingamangarja XII Medan dengan tujuan yang sama, "tolak gelar Raja Batak bagi SBY.

Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana muncul kemudian, mengapa mereka menolak memberikan gelar itu pada pemimpinnya? Apa yang salah dengan pemberian gelar tersebut? Tentu mereka punya alasan yang logis yang bisa dipertanggungjawabkan secara sosial dan moral kepada nilai budaya keBatakan.

Apa yang dilakukan oleh sekelompok massa tersebut dalam pandangan saya sebagai akademisi adalah sesuatu aksi yang natural dan tidak punya maksud apa-apa. Tujuannya hanya satu, menjaga nilai–nilai kearifan lokal sebagai pedoman hidup bagi masyarakat. Adanya wacana pemberian gelar Raja Batak pasca peresmian museum Batak sedunia kepada SBY di Balige memang patut kita sayangkan. Setidaknya argumentasi yang dibangun pun bisa diterima oleh publik, bahwa penganugerahan gelar tersebut sarat dengan kepentingan politis.

Memberikan gelar tentu tidak sembarangan. Sebagai contoh yang sangat sederhana, untuk mendapat gelar kesarjanaan prosesnya saja sangat ketat dan rumit. Ada proses perkuliahan, ujian semester, mengerjakan skripsi, sampai pada tahap meja hijau dan wisuda. Semua proses itu harus dilalui baru berhal mendapatkan gelar kesarjanaan. Dapat kita lihat prosedural yang ditempuh sangat ketat dan itu adalah upaya menempa mental mereka agar kelak bisa menajdi manusia pekerja keras dan bermental dengan baik dalam aktivitas kehidupan mereka.

Kemudian kita dapat melihat, untuk meraih gelar Nobel prosesnya lebih hebat dan lebih keras lagi. Prestasi yang membawa manfaat bagi kehidupan adalah prasyarat mutal yang bisa ditawar-tawar. Peraih nobel adalah orang-orang pekerja keras yang terus bergelut dalam satu bidang dan bidang itu membawa kebaikan bagi masyarakat atau dunia. Muhammad Yunus misalnya dari Bangladesh meraih nobel ekonomi karena berhasil membantu perekonomian masyarakat miskin di Banglades melalui Graamen Banknya. Yunus dengan segala upaya jerih payahnya mampu membantu ribuan masyarakat miskin Bangladesh. Inilah cikal bakal Yunus memperoleh gelar nobel ekonomi.

Di Myanmar kita pernah mengenal sosok Aung Sang Suu Ky yang tanpa lelah berjuang untuk proses perdamaian dan demokratisasi di Myanamr. Penjara dan ancaman militer bukan sesuatu yang menakutkan bagi Suu Ky. Kemudian Aung Sung Suu Ky berhasil memperoleh gelar nobel perdamaian. Kemudian Amartya Sen berhasil meraih nobel ekonomi dengan konsep pembangunannya. Sen mengemukakan perlunya memperhatikan hak asasi manusia dalam pembangunan ekonomi. Konsep kebebasan dalam ekonomi sangat perlu agar masyarakat bisa sejahtera. Teori Amartya Sen ini sangat ampuh dalam membangun masyarakat dan digunakan oleh pemerintahan India.

Dari nama-nama peraih gelar nobel di atas dapat kita lihat tindakan mereka sangat berguna bagi kemanusiaan dan tidak ada motif-motif yang lain. Semunya itu atas dasar kasih dalam menolong sesama. Hati nurani lebih ditonjolkan daripada keuntungan finanasial semata. Gelar tentu bukan tujuan mereka, tujuan mereka adalah bagaimana supaya sesama dapat hidup lebih layak dengan kesejahteraan yang lumayan. Walaupun pada saat yang bersamaan tindakan mereka menjadi titik tolak mendapatkan hadian nobel sebagai penghargaan dari Alfred Nobel.

Mental Feodalisme

Kembali dalam konteks pemberian gelar Raja Batak kepada SBY, apa urgensinya dengan pembangunan budaya Batak? Apakah pemberian ini sebagai bentuk dari bangkitnya kembali mental feodalisme pada era Orde Baru dimana setiap berjumpa dengan pemimpin selalu melakukan pendekatan asal bapak senang (ABS). Setidkanya definisi raja harus kembali kita pahami dalam kultur Batak. Dalam masyarakat Batak Toba misalnya semua marga atau paling kecil semua person adalah anak ni raja dan boru ni raja. Artinya secara teritorial, raja di tanah Batak yang diartikan dalam semua marga tidak punya wilayah dan kekuasaan.

Panggilan raja dalam masyarakat Batak lebih kental nuansa kulturnya dengan tujuan saling menghormati sesama. Seseorang dipanggil Raja tidak lebih hanya untuk memberikan penghormatan yang tinggi dan pada hakikatnya semua orang Batak adalah anak Raja. Jadi Raja dalam kultur orang Batak jangan diterjemahkan sebagai seorang pimpinan, itu lebih dekat dengan penghormatan.

Berarti dalam tradisi budaya Batak Toba misalnya toleransi sangat tinggi. Kehidupan mereka lebih banyak di atur dengan adat dalihan natolu. Dalihan natolu ini dalam budaya Batak Toba ada unsur. Hula-hula, dongan tubu, dan boru. Semuanya itu akan mengalami rotasi. Artinya semua orang Batak Toba suatu saat akan bisa menajdi hula-hula, dongan tubu, dan boru. Ini adalah bentuk kesetaraan dimana semua saling menghormati.

Tatanan dalihan natolu ini harus kembali dipertahankan oleh orang Batak. Kita bukan tidak setuju dengan simbolis pemberian Raja Batak kepada SBY. Ini akan sangat melukai hati masyarakat Batak Toba. Parahnya lagi pemberian itu karena kepentingan politis dari pihak tertentu. Janganlah kita mengorbankan nilai kebudayaan yang punya falsafah yang sangat tinggi hanya karena kekuasaan. Ditengah –tengah kritik kepada SBY karena permasalahan bangsa yang sangat besar dan menuntut ketegasan SBY, saatnya kita berpikir jernih dan mengkaji ulang pemberian gelar itu.

Menghormati pemimpin adalah wajib hukumnya, tetapi menyanjung pemimpin setinggi langit tentu menjadi masalah besar. Bahkan dengan mengorbankan nilai-nilai Ke- Batakan yang punya nilai kemanusiaan yang tinggi. Siapapun dalam kultur budaya Batak pasti disebut dengan Raja, itu panggilan raja tujuannya untuk menghormati dan bukan memuji-muji.

Menolak pemberian gelar Raja Batak kepada SBY adalah tindakan yang bijak. Relevansinya dengan pembangunan budaya Batak Toba juga tidak ada. Dalam hal ini pemimpin bisa belajar kepada peraih gelar hadiah nobel. Mereka tidak pernah bercita-cita meraih gelar hadiah nobel tetapi nobel itu datang sendiri karena prestasi mereka mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. Kalau SBY mampu membawa negeri ini kearah yang lebih baik, sejahtera secara ekonomi, hukum tegak, kemiskinan nihil, adanya jaminan hidup maka semua suku akan berlomba untuk memberikan gelar budaya pada SBY. Ini tidak, bangsa kita terus dirundung masalah yang jauh dari nilai keadilan dan nilai kemanusiaan.

Penulis adalah: Dosen FIS UNIMED Medan/ Ketua PKMI I Medan/Ketua Umum Sinaga Sedunia dan Ketua Umum ISDA Se-Indonesia.
Link:
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=83571%3Arelevankah-pemberian-gelar-raja-batak-bagi-sby&catid=78%3Aumum&Itemid=131
Read More >>

Sangkamadeha Pohon Kehidupan Orang Batak

Salam Sitorus,

Pohon "Sangkamadeha" diartikan sebagai pengekspresian hidup dan kehidupan manusia dalam dunia nyata dengan segala kebanggaan dirinya. Sangkamadeha merupakan penggambaran pohon kehidupan pemberian sang pencipta (Mulajadi Nabolon) kepada manusia.

Sejak muda hingga tua, pohon ini tumbuh tegak lurus dan tajuknya "sundung" (menuju) langit. Hidup di dunia dalam pertengahan usia adalah perkembangan sangat subur dan optimal, berkaya-nyata untuk dirinya dan orang lain.

Menurut Budayawan dari kabupaten Toba Samosir, Monang Naipospos, hasangapon, hagabeon dan hamoraon, adalah gambaran kesuburan yang dinikmati atas karunia Sang Khalik.

Sementara itu pemerhati budaya, Baginda Sahat Napitupulu yang tinggal di Malaysia menilai, orang Batak zaman dulu, cukup genius. Sebab, mereka mampu menggambarkan serta merumuskan tentang pohon kehidupan.

Banyak filosopi yang dapat dimaknai dari sangkamadeha yang mengambarkan posisi kita sebagai orang batak. Apakah terkategori `napogos`, `parsaetaon`, `naduma`, `paradongan` dan `namora/harajaon`.

Silakan klik http://oase.kompas.com/read/2010/10/06/0154592 /Sangkamadeha.Pohon.Kehidupan.Orang.Batak  untuk mengetahui sebagian budaya Batak.


Horas Mejuah-Juah,
jhonny sitorus
Read More >>

Mari Mengenal Mangohal Holi

Salam Sitorus,

Bagi sebagian masyarakat Batak, prosesi adat Mangohal Holi (baca: Mangokkal Holi), merupakan salah satu rangkaian budaya yang diwariskan oleh leluhur.

Masyarakat Batak Toba percaya bahwa kematian bukan akhir perjalanan hidup seseorang. Namun, justru tahap mencapai kesempurnaan. Upacara pemindahan kerangka nenek moyang ke tempat pemakaman yang lebih megah ini, sebagai simbol keberhasilan keluarga. Makin megah dan mahal makam, makin tinggi status sosial keturunan tersebut.

Biasanya, pengambilan tulang jenasah dipimpin anak perempuan tertua. Kemudian, kerangka itu dibersihkan adik perempuan mendiang dengan air jeruk purut.

Berdasarkan keyakinan orang Batak, ketika kerangka mendiang disentuh cahaya mentari, pada saat itulah, hidup kembali di tengah-tengah keluarga. Lubang makam pertamanya pun segera ditutup dengan pohon pisang. Itulah masa terakhir mendiang berhubungan dengan dunia sebelum dikuburkan kembali di tempat termulia bagi jiwanya yang disebut tondi.

Upacara dilanjutkan dengan memohon petunjuk mengenai nasib keturunan mendiang. Sekelompok orang diutus untuk memasuki hutan. Mereka membwa sesaji berupa beras, sirih, dan uang dalam sampit daun pandan yang disebut sagu-sagu. Kelompok itu bertugas mencari Borotan atau penambat kerbau persembahan dari kayu sari marnaek yang berasal dari pohon lalas. Mereka juga harus menemukan sejumlah pohon lain yang dipercaya sebagai perlambang berkah dan rezeki.

Pohon lalas pun tiba. Kedatangan mereka disambut gembira karena dikabarkan arah tebangan pohon lalas menghadap ke timur. Itu pertanda baik bagi keturunan mendiang.

Ketika pagi menjelang, kerbau persembahan segera digiring ke Borotan. Langkah kaki dan tindak-tanduknya diamati dengan seksama. Bila kurban dapat digiring dengan mudah, semua menjadi lega. Sebab, itu berarti kehidupan keturunan mendiang akan lurus dan diberkahi rezeki yang cukup. Kerbau kurban menggunakan kaki kiri dalam langkah awal. Itu menunjukkan hidup garis keturunan perempuan akan lebih makmur.

Kini, tulang kerangka mendiang kembali dipersiapkan. Tulang mendiang yang telah meninggal 20 tahun silam ini dibungkus kain putih dan diletakkan di atas nampan. Nampan tadi dijunjung anak perempuan tertua untuk disemayamkan di peristirahatan terakhirnya.

Kemudian pewaris adat mendiang ditetapkan. Tongkat adat warisan keluarga turun temurun diserahkan pada cucu lelaki tertua dari anak lelaki mendiang. Inilah puncak perayaan Mangohal Holi. Hajatan diakhiri dengan menari tor tor penuh suka cita ke dalam rumah. Setiap orang menari tor tor dan saling menyentuh wajah menyatakan pengormatan, dan cinta kasih.

Keesokan harinya, kerbau di Borotan pun disembelih. Sebagian daging dibagikan pada para raja adat. Sisanya dimasak sebagai hidangan penutup pesta yang disebut Sipitu Dai. Sempurnalah sudah ekspresi kegembiraan keluarga. Pesta ini menyiratkan semangat bahwa kematian tidak harus selalu dihadapi dengan kemuraman.


Horas Mejuah-Juah,
jhonny sitorus
Read More >>

Kamis, 23 Februari 2012

INSPIRASI HIDUP Tips Meningkatkan Motivasi Belajar

BERGAUL
  • Bergaulah  dengan orang yang senang belajar
  • Belajar apapun dari Alam sekitar dan Internet
  • Bergabunglah dengan orang-orang yang Optimis & selalu berpikir positif, di dunia ini ada orang yang selalu terlihat optimis meski masalah merundung, kita akan tertular semangat, Gairah dan Rasa Optimis jika sering bersosialisasi dengan orang-orang atau berada dalam komunitas seperti itu dan sebaliknya. 
CARI MOTIVATOR
Kadang kala seseorang butuh orang lain sebagai pemicu atau mentor dalam menjalankan hidupnya. Misalnya, teman, pacar ataupun pasangan hidup. kita pun dapat melakukan hal serupa denagn mencari seseorang atau komunitas yang dapat mengarahkan atau memotivasi kita belajar, tetap semangat dan meraih prestasi sehingga kualitas hidup kita semakin bermakna.

Selamat Melaksanakan..., SUKSES.!!!
Read More >>

Sponsor

Pengikut